Minggu, 20 Desember 2009

ILMU DAN TEKNOLOGI

ILMU DAN TEKNOLOGI (2/2)

TEKNOLOGI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan

sebagai "kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu

eksakta dan berdasarkan proses teknis." Teknologi adalah ilmu

tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi

kesejahteraan dan kenyamanan manusia.

Kalau demikian, mesin atau alat canggih yang dipergunakan

manusia bukanlah teknologi, walaupun secara umum alat-alat

tersebut sering diasosiasikan sebagai teknologi. Mesin telah

dipergunakan oleh manusia sejak berabad yang lalu, namun abad

tersebut belum dinamakan era teknologi.

Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang

kita menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara

tentang alam raya. Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar

750 ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam materi dan

fenomenanya, dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui

dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan berulang-ulang

Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan ditundukkan

Allah untuk manusia.

Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit

dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah)

dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Penundukan tersebut --secara potensial-- terlaksana melalui

hukum-hukum alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yang

dianugerahkan-Nya kepada manusia. Al-Quran menjelaskan

sebagian dari ciri tersebut, antara lain:

(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan

hukum-hukumnya.

Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS

Al-Ra'd [13]: 8)

Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga

rumput yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah

ditetapkan oleh Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya.

Demikian antara lain dijelaskan oleh Al-Quran surat Ya Sin

ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3

(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:

Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di 1angit

dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra'd

[13]: 15).

(c) Benda-benda alam --apalagi yang tidak bernyawa-- tidak

diberi kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepada

Allah melalui hukum-hukum-Nya.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan

langit yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia

(Allah) berkata kepada-Nya, "Datanglah (Tunduklah)

kamu berdua (langit dan bumi) menurut perintah-Ku

suka atau tidak suka!" Mereka berdua berkata, "Kami

datang dengan suka hati" (QS Fushshilat: ll).

Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri

dan hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaõmana

diinformasikan oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah

ayat 31,

Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya

Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri,

dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui

rahasia alam raya.

Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan

Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap

perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat

memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya,

semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan

alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan memanfatkan

alam itu merupakan buah teknologi.

Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab.

Ciri mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-'Imran (3)

190-191:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan

silih bergantinya malam dan siang terdapat

tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu mereka yang

berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk

atau berbaring, dan mereka yang berpikir tentang

kejadian langit dan bumi ...

Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab,

yaitu tafakkur dan dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan

natijah yang diuraikan pada ayat 195:

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka

dengan berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak

menyia-nyiakan amal yang beramal di antara kamu, baik

lelaki maupun perempuan ..."

Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak,

melainkan melampauinya sampai kepada pengamalan dan

pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah

mengomentari ayat Ali 'Imran tadi sebagai berikut:

[tulisan Arab]

Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode

yang sempurna bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap

alam. Ayat-ayat itu mengarahkan akal manusia kepada fungsi

pertama di antara sekian banyak fungsinya, yakni mempelajari

ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya ini. Ayat-ayat

tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan ama1

Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa "Khalq As-samawat wal Ardh"

di samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan

bumi, juga bermakna "memikirkan tentang sistem tata kerja alam

semesta". Karena kata khalq selain berarti "penciptaan", juga

berarti "pengaturan dan pengukuran yang cermat". Pengetahuan

tentang hal terakhir ini mengantarkan ilmuwan kepada

rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya mengantarkan kepada

penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan manfaat

bagi umat manusia.

Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu

yang dianjurkan oleh Al-Quran?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu

diperhatikan.

Pertama, ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan

fenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selalu

dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.

Perhatikan misalnya uraian Al-Quran tentang kejadian alam:

Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa

langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang

padu, kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya, dan

dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka

mengapa mereka tidak juga beriman? (QS Al-Anbiya'

[21]: 30).

Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai

isyarat tentang teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali

terciptanya langit dan bumi. Para pakar boleh saja berbeda

pendapat tentang makna ayat tersebut, atau mengenai proses

terjadinya pemisahan langit dan bumi. Yang pasti, ketika

Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya dengan

kekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan beriman

pada-Nya.

Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari

posisinya, sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan

informasi itu dikaitkan dengan Kemahahebatan Allah Swt.: ~

Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di

tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan.

Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh

tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa

yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88).

Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu

mengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan

Allah Swt., selain juga harus memberi manfaat bagi

kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi Rabbik.

Kedua, Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara

yang maknanya bermuara kepada "kemampuan meraih --dengan mudah

dan sebanyak yang dibutuhkan-- segala sesuatu yang dapat

dimanfaatkan dari alam raya melalui keahlian di bidang

teknik".

Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnya

menundukkan atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya

dengan segala manfaat yang dapat diraih darinya harus tunduk

dan dianggap sebagai sesuatu yang posisinya berada di bawah

manusia. Bukankah manusia diciptakcan oleh Allah sebagai

khalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan

merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah

kepadanya. Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam.

maka ketundukan itu tidak sejalan dengan maksud Allah Swt.

Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam

raya bersama potensi yang dimiliki manusia --bila digunakan

secara baik-- akan membuahkan teknologi.

Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus

mengingatkan manusia kepada Allah, juga harus mengingatkan

bahwa manusia adalah khalifah yang kepadanya tunduk segala

yang berada di alam raya ini.

Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret

teknologi, dapat dikatakan bahwa pada mulanya teknologi

merupakan perpanjangan organ manusia. Ketika manusia

menciptakan pisau sebagai alat pemotong, alat ini menjadi

perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan dengan

kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada

si Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian

teknologi berkembang, dengan memadukan sekian banyak alat

sehingga menjadi mesin. Kereta, mesin giling, dan sebagainya,

semuanya berkembang, khususnya ketika mesin tidak lagi

menggunakan sumber energi manusia atau binatang, melainkan

air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara, misalnya,

adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi

Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan

organ dan manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang

memungkinkannya mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia

bagaikan memiliki sayap. Alat atau mesin tidak lagi menjadi

budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.

Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih.

Mesin-mesin tersebut melalui daya akal manusia

--digabung-gabungkan dengan yang lainnya, sehingga semakin

kompleks, serta tidak bisa lagi dikendalikan oleh seorang.

Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu mesti

dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah

menjadi semacam "seteru" manusia, atau lawan yang harus

disiasati agar mau mengikuti kehendak manusia.

Dewasa ini telah lahir teknologi --khususnya di bidang

rekayasa genetika-- yang dikhawatirkan dapat menjadikan alat

sebagai majikan. Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal

"majikan" yang akan diperbudak dan ditundukkan oleh alat. Jika

begitu, ini jelas bertentangan dengan kedua catatan yang

disebutkan di terdahulu.

Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat

menerima hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan

tidak menyebabkan maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik

mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur "debu tanah"

manusia maupun unsur "ruh Ilahi" manusia.

Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan

seseorang dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada

keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan

hasil teknologinya yang mesti ditolak, melainkan kita harus

memperingatkan dan mengarahkan manusia yang menggunakan

teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak semula diduga dapat

mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan penciptaan,

sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu,

menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai

cara memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi,

dengan pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana

mengarahkan teknologi yang dapat berjalan seiring dengan

nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata lain bagaimana memadukan

pikir dan zikir, ilmu dan iman?

***

Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya

meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa,

Rasul Allah Muhammad Saw. pun diperintahkan agar berusaha dan

berdoa agar selalu ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni

'ilma (Berdoalah [hai Muhammad], "Wahai Tuhanku, tambahlah

untukmu ilmu") (QS Thaha [20]: 114), karena fauqa kullu zi

'ilm (in) 'alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada yang

amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).

Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan.

Rasulullah Saw. bersabda:

Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan

menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta.

Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan

teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan

kepadanya. Karena itu, laju teknologi memang tidak dapat

dibendung. Hanya saja manusia dapat berusaha mengarahkan diri

agar tidak memperturutkan nafsunya untuk mengumpulkan harta

dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya. Agar ia

tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya

sendiri karena kepandaiannya.

Al-Quran menegaskan:

Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah

seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu

tumbuhlah dengan suburnya --karena air itu--

tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan

manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu

telah sempurna keindahannya dan memakai (pula)

perhiasannya dan penghuni-penghuninya telah menduga

bahwa mereka mampu menguasainya (melakukan segala

sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di

waktu malam atau siang, maka kami jadikan

(tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang

sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh

kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda

kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir (QS

Yunus [10]: 24).[]

----------------

WAWASAN AL-QURAN

Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat

Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Penerbit Mizan

Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124

Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038

mailto:mizan@ibm.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar